SEJARAH DAN AKULTURASI BUDAYA MASJID AGUNG PALEMBANG
Setiap daerah di Indonesia bangunan masjid mempunyai perbedaan dan ciri khusus dari segi arsitekturnya. Dalam segi arsitekturnya sering terjadi akulturasi budaya setempat atau budaya lokal. Akulturasi merupakan proses pembudayan lewat percampuran dua kebudayaan atau lebih sering bertemu dan saling mempengaruhi percampuran dan perpaduan budaya itu bisa berkenaan dengan wujud budaya yang monumental. Begitu pula yang ditampilkan Masjid Agung Palembang atau yang memiliki nama lain Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I atau juga dikenal dengan Masjid Sultan ini. Seperti namanya masjid ini adalah sebuah masjid terbesar di Palembang Sumatra Selatan.
Dilihat dari bentuknya masjid agung Palembang mempunyai ciri khas perpaduan 3 kebudayaan yaitu kebudayaan Indonesia, Eropa dan Tiongkok. Tiga ciri kebudayaan tersebut melekat dalam setiap lekuk bangunan masjid. Pada pintu utama masjid menunjukan adanya pengaruh kebudayaan Eropa. Pada bagian atap masjid utama terlihat adanya pengaruh Tiongkok karena bentuknya yang mirip klenteng. Sementara akulturasi budaya Indonesia terlihat dari menara terdapat ciri khas kerap kaitannya dengan kebudayaan nusantara. Ujung menara dari masjid ini berbentuk kerucut seperti tumpeng atau gunungan yang mempunyai makna hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan alamnya dan manusia dengan sesama manusia.
Masjid Agung Palembang yang kita lihat saat ini adalah hasil inovasi dan perluasan yang dikerjakan pada tahun 2000-2003. Tercetusnya ide pembangunan masjid agung Palembang ini bermula pada sebuah masjid lebih dahulu didirikan oleh Ki Gede Ing Suro Sultan Palembang terdahulu hangus terbakar. Menurut kabar yang beredar masjid ini dihancurkan oleh Mayor Van der Laen saat perang Palembang melawan Belanda 1659. Akhirnya pada abad 18 atau tepatnya pada tanggal 20 Mei 1748 Masehi Sultan Mahmud Badaruddin I Jaya Wikromo membangun masjid sultan ini. Luas bangunan masjid ketika itu sekitar 1080 meter persegi dan dapat menampung jamah hingga 1200 orang dan pada masa tersebut masjid ini menjadi masjid terbesar di Indonesia.
Pada saat itu lokasi masjid ini berada dalam komplek kraton kesultanan Palembang tepat dibelakang benteng kuto besar. Kini masjid agung Palembang ini terletak dikelurahan 19 hilirnkecematan hilir satu Palembang. Masjid ini berada dipersimpangan jalan Jenderal Soedirman sebelah timur sedangkan sebelah barat berbatasan dengan jalan guru-guru yang sekarang sudah diganti namanya menjadi Fakih Uman. Menurut penelitian sejarahwan Johan Mahanafiah dulu jalan ini dinamakan guru-guru karena disamping ini bermukim guru-guru agama islam. Mereka mengajarkan ngaji Al Quran, fikih dan ilmu agama lainnya yang berpusat dimasjid agung.
Jika masjid Pulau Sumatra pada umumnya berbentuk kubah namun masjid agung ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu mustaka yang dimilikinya. Masjid yang mustaka adalah masjid yang mempunyai atap bagian atas yang terpisah dengan atap bagian bawahnya. Atap dibawahnya ini ditopang oleh pilir-pilar diatas tanah dan jika dilihat secara seksama maka kepala dari masjid ini seperti terpisah dari leher tubuh masjid. Seiring berjalannya waktu masjid ini telah banyak mengalami pemugaran sehingga beberapa bentuknya tidak lagi sama dengan yang dulu. Namun tetap tidak menghilangkan bangunan asli masjid ini tetap terlihat kokoh berdiri bahkan hingga lebih dari 2,5 abad. Itulah sejarah singkat pembangunan Masjid Agung Palembang ini semoga informasi ini dapat menambah wawasan kita dalam dunia seni sejarah islam nusantara.