Selasa, 28 Juni 2016

Dalam Diam Kau Sembunyikan Laramu. Dalam Diam Aku Mengagumimu, Bapak.

Bapak. Walau bibirku tersenyum tapi hatiku bersedih melihat wajahmu. Rambut hitam kemilaumu kini berganti warna menjadi putih. Raut lelah matamu tak dapat lagi kau sembunyikan. Kantung mata itu menggantung tebal di sana, pertanda bapak banyak melewatkan waktu istirahat malam untuk begadang saat bekerja. Diupayakan sekuat tenaga tapi tubuhmu tak bisa berbohong, ia lelah.
Sekalipun kau banyak pengorbanan yang kau lakukan, tak pernah kau mengumbar, tak pernah kau meminta kami memahami, kau rasakan semua sendiri, lelah itu, kau rasakan sendiri dalam diam, kau sembunyikan dalam senyummu. Mulai sakit sana-sini. Beberapa kali harus ke dokter. Karena memang usiamu tak lagi muda. Tak lagi sekuat dulu.
Namun tetap, tak pernah kudengar kau mengeluh, kau atasi sendiri semua dalam diam. Ketika menyadari hal itu, hatiku terasa pedih. Aaah.. mungkin bapak tak ingin membuat kami khawatir. Sebenarnya itu bukan hal yang buruk, namun, mengetahui itu mengapa hatiku terasa pedih? Ugly truth, isn’t it?!
Suatu kali saat kami berkunjung ke rumah nenek di desa. Tertegun aku melihat sosok muda, tampan, necis dan ya, Itu adalah bapak! Wah, pantas saja ibuku jatuh hati padanya. Di foto itu, ia berdiri di samping kanannya adalah kakaknya yang sedang menggandeng dua malaikat kecilnya. Sebelah kirinya adalah sang adik yang sedang merayakan hari besar dengan mata berbinar dalam balutan toga dan menggenggam ijazah di tangan kanan. Sarjana.
Pernah suatu kali kutanya padanya, mengapa ia tidak melanjutkan kuliah? Sederhana ia menjawab, “Ingin segera kerja untuk mendapatkan uang”. Aaah.. dia tidak ingin menjadi beban bagi keluarga dengan biaya pendidikan, karenanya ia ingin bekerja secepatnya untuk memberikan bantuan finansial kepada keluarganya.
Saat lebaran tiba, kami wajib hukumnya untuk menginap semalam atau dua malam di rumah nenek di desa. Dulu kalau mau ke desa masih susah. Infrastruktur masih belum sebagus saat ini. Jalan masih belum diaspal. Kami pun harus menyeberang dengan kapal kecil karena belum ada jembatan.
Selesai menyeberang, kami masih harus menghadapi jalan yang sempit, akan dua kali lipat berbahaya jika hujan turun karena jalanan akan berlumpur dan licin. Kanan kiri hamparan sawah, aku selalu saja khawatir, membayangkan jikalau saat mengendarai motor, bapak kehilangan keseimbangan dan kami akan terjerembab di sawah. Untungnya, hal itu tidak pernah terjadi.
Setibanya di rumah nenek, kami akan berkeliling desa! Iya, benar-benar berkeliling desa. Setiap rumah yang ada di desa akan kami kunjungi tanpa ada yang terlewatkan. Berbagi cerita tentang masa-masa indah yang terjadi dan bernostalgia tentang masa lalu. Tak lupa, diakhir kunjungannya dari setiap rumah, bapak selalu menyelipkan amplop berisikan sejumlah uang yang aku tidak pernah tahu berapa nominalnya, diperuntukkan bagi para sesepuh.
Pernah aku bertanya, mengapa kita harus repot-repot berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya di desa?! Dijawabnya dengan serius, “Mereka semua adalah keluarga, kehadiran mereka sangat berarti. Di masa lalu mereka banyak membantu. Tidak ada salahnya kan menjaga silaturahmi dan berbagi sedikit rezeki kepada mereka.” Kini setelah aku dewasa kupahami benar hal itu dan membuatku kagum pada bapak. Bagaimana seseorang bisa memiliki hubungan yang solid walau bahkan tanpa ada hubungan atau ikatan darah.
Mereka peduli satu sama lain, saling berbagi, saling mendukung dan saling mendoakan. Family comes first. Keluarga adalah yang utama. Nilai inilah yang kadang terlupakan oleh orang-orang yang hidup di kota, namun begitu kenta terasa nilainya di desa.
Percaya atau tidak, bapak adalah satu-satunya orang yang kukenal yang tidak suka belanja. Bukan karena ia tidak mampu tapi entahlah aku juga tidak dapat memahaminya. Disaat semua orang berdandan dengan pakaian terbaiknya saat lebaran. Ia tidak pernah ambil pusing. Cukup dengan baju koko yang biasa ia pakai saat solat jum’at dan kain sarung seadanya dan sandal karet! Itu loh sandal karet warna hitam yang seperti biasa dipakai pemeran pria dalam film laga Indonesia jaman dulu. Sandalnya awet sekali loh. Panas hujan tak akan rusak.
Mungkin karena alasan efisiensi inilah bapak lebih suka sandal karet ini, agak old fashion memang. Pernah sekali dibelikan sandal bermerek juga akhirnya rusak dimakan waktu walau tidak pernah dipakai. Bapak sulit sekali didandani. Tidak pernah mau dibelikan baju model terbaru yang sedang popular di masyarakat.
Ingin tahu seleranya seperti apa? Baju diskonan dengan model sederhana, polosan, diambilnya dengan wajah sumringah, “Ini juga bagus kan?! Yawes, ini aja!”. Pedih hatiku melihatnya, tapi kutampilkan senyum terbaikku. Jutaan ia limpahkan kepada kami untuk berdandan, beli baju baru tapi begitu beratnya ia mengeluarkan uang untuk keperluannya sendiri.
Tak akan pernah kulupa bagaimana cemasnya raut wajah bapak, tergopoh-gopoh berlari menghampiriku dengan masih mengenakan seragam kerja baru saja pulang dari kantor, saat itu aku jatuh dari sepeda. Ketika dokter memberikan jahitan dua pada kaki kiriku, bapak menggenggam tanganku kuat.
Ada juga saat dimana saat aku rawat inap di rumah sakit karena jatuh terpeleset dari tangga lantai dua. Bapak bertanya kepadaku, “Kamu kepingin apa? Nanti bapak belikan”. Aku menjawab dengan polos, ”Pengen buah anggur hijau, Pak”. Berbinar dan bahagia sekali hatiku saat bapak benar-benar membawakannya untukku.
23 tahun yang lalu bapak menggendongku untuk pertama kali. Gadis kecilmu kini telah dewasa. Banyak temanku yang mengatakan bahwa wajahku mirip sekali dengan bapak. Banyak sekali pengorbanan yang bapak lakukan demi kami, demi keluarga kita. Tak pernah lupa aku mendoakan bapak setiap akhir sholatku. Semoga tahun ini gelar sarjanaku bisa menjadi hadiah ulang tahun terbaik dariku untuk bapak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar